Hatim Al-Asham, “Tuli” Demi Menjaga Perasaan Orang Lain
Abu Abdurrahman – Hatim bin Alwan, populer dengan panggilan al-Asham (wafat 237 H/851 M.), termasuk salah seorang tokoh besar di Khurasan. Ia murid dari Syaqiq dan guru dari Ahmad bin Khadhrawaih. Dikisahkan, bahwa sebenarnya ia bukanlah orang yang tuli (asham) tetapi karena sering berpura-pura tuli, ia populer dengan panggilan si tuli.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq – rahimahullah ta’ala – berkata: “Ada wanita yang datang kepada Hatim, untuk suatu masalah yang harus diselesaikan.
Tiba-tiba muncul suara (semacam kentut) ketika itu. Wanita itu tampak berubah roman mukanya, karena malu. Hatim lantas berkata : “Tolong keraskan suaramu!’ Hatim menampakkan seakan-akan dirinya tuli. Melihat ketulian Hatim, wanita itu berubah menjadi amat gembira. Lantas wanita itu bilang, “Sungguh, Hatim itu tidak dapat mendengarkan suara.” Sejak saat itu ia dikenal dengan sebutan al-Asham (si Tuli).”
Di antara ucapannya : “Tiada pagi, tanpa ucapan setan yang muncul, ‘Anda mau makan apa? Mau memakai pakaian mana? Mau ke mana hari ini? Lantas ku katakan pada setan, “Aku akan makan kematian dan meakai kafan, serta aku akan menghuni kuburan.”
Ia pernah ditanya, “Apa yang paling Anda senangi?” Ia menjawab “Aku senang menjadi orang yang diampuni sejak siang hari sampai malam hari.” Ditanya lagi, “Bukankah hari-hari penuh ampunan?” Ia menjawab, ‘Ampunan hari ini adalah bahwa diriku, pada hari ini, tidak maksiat kepada Allah swt.”
Ia mengisahkan, “Dalam suatu pertempuran, aku tertangkap oleh tentara Turki. Lantas aku ditelentangkan hendak dipenggal. Dalam keadaan seperti itu, hatiku sama sekali tidak berubah, bahkan aku menunggu apa hukuman Allah swt, yang akan dijatuhkan kepadaku. Di saat tentara musuh itu mencabut pedang dari sarungnya, tiba-tiba ada anak panah yang menghujam tubuhnya, hingga ia terbunuh dan terlempar dariku dengan sendirinya.
Lantas aku bangkit dari tempat pembaringanku.”
Ucapan yang lain, “Siapa yang memasuki mazhab kami (Tasawuf), hendaknya empat perkara kematian ini ada dalam dirinya:
(1) Mati putih, yaitu berlapar-lapar (2) Mati hitam, yaitu menanggung beban penderitaan orang lain; (3) Mati meraha, yaitu beramal secara ikhlas dalam menetang hawa nafsu; dan (4) mati hijau, yaitu membuang ketololan satu demi satu.”